Bianca Winataputri writes about Dias Prabu’s exhibition of batiks, which tells the story of Makassan fishermen whose journey left a legacy of shared traditions.
The collapsing together of place, time, tradition, and histories is intricately explored in Dias Prabu’s new series of works for Flowing Lifelines. We are often occupied with where we are physically and geographically, separated by borders, which create an illusion that we exist only within that particular context. Prabu’s batik drawings complicate this experience by tracing the shared histories and contemporary relations between Indonesia and Australia, merging them through a multitude of visuals, imagery, and text arranged in dynamic compositions that know no borders.
In his work First trades of friendship (2021), Prabu animates the history of the Makassan fishers (also spelled ‘Macassan’) from Sulawesi, Indonesia, who first arrived in the Arnhem Land Region in the Northern Territory in the mid-18th Century to collect and process sea cucumbers (trepang). Early depictions of Makassan boats (perahu) are traced back to Aboriginal rock paintings in the early 1700s in Arnhem Land. The inclusion of boats in Prabu’s work refers not only to the story of the Makassan fishers, but also to the documentation of this moment of exchange as captured by these rock paintings. Prabu invites us to focus on the notions of friendship and storytelling when engaging with these histories, reminding us of our past connections that persist into the contemporary.
The artist’s use of batik—a wax-resist dying technique on cloth—also bodes respect to the tradition of batik tulis (hand-drawn batik) that originated in Java, Indonesia. Prabu brings this medium and intricate process into the contemporary. Traditionally, batik tulis would incorporate motifs and patterns that are specific to the local environment—such as flowers, birds, animals, clouds—often presented in a dense composition dyed primarily in beige, blue, brown, and black tones. Prabu’s batik drawings embrace this technique to use it as a form of contemporary storytelling, adding his characteristic figures, texts, and bold colours. The use of ombré and contrasting tones as seen in Timeless deeds for the future (2021), Precious Lesson for the Great Nations (2021), and Follow your path in a hard day (2021) emphasise the blending of stories and cultures as they flow through the fabric. Experimenting with motifs and colours, tradition (in the form of batik tulis) is presented as an embodied artistic practice rather than a form of inspiration.
In drawing connections between Indonesia and Australia, batik making was also introduced to communities of First Nations women in 1971 by Leo Brereton who had studied batik in Indonesia. Brereton was first invited to teach batik-making techniques in Ernabella in the Anangu Pitjantjatjara Yankunytjatjara Lands, South Australia, creating a new kind of batik textiles that aligned with the community’s designs, stories, and environment. There is an enduring and common thread shared between Indonesian batik, Indigenous Australian batik, and Dias Prabu’s batik: they are mediums for storytelling and expressions of respect towards ancestral worlds and teachings. Here, tradition, exchange, and history form connections that transcend time and place. As Prabu shared “It is important to respect centuries-old tradition. Works that are based on tradition, history, myths, and legends could lead us to reflect on what is happening at present and into the future.”
There are many stories that bind us together. Prabu’s new works present a series of encounters between Indonesia and Australia that are often forgotten or left out of history books. These stories are captured by the artist as a kind of “re-imagined memory” that binds and connects us, a manifestation of our past connections as a means of forging a collective future.
Dias Prabu, Flowing Lifelines, Broken Hill City Art Gallery, 5 August – 25 September 2022
About Bianca Winataputri
Bianca Winataputri is a Melbourne-based independent curator, writer, podcast host, and PhD candidate in Art History and Theory at Monash Art, Design and Architecture (MADA). She was recently Public Programs coordinator at the Australian Centre for Contemporary Art (ACCA) and previously Assistant Curator of Contemporary Art at the National Gallery of Australia, where she was part of a curatorium for the major exhibition Contemporary Worlds: Indonesia.
Indonesian
Membayangkan kembali ‘ingatan-ingatan’ akan perjumpaan yang lampau
Bianca Winataputri
Diterjemahkan oleh Karina Roosvita dan Elly Kent
Keruntuhan serentak akan ruang, waktu, tradisi, dan sejarah yang saling tumpang tindih ditelusuri oleh Dias Prabu dalam seri karya terbarunya Flowing Lifelines. Kita acapkali disibukkan dengan pertanyaan di mana kita secara fisik dan secara geografis, yang dipisahkan oleh batas-batas, yang menciptakan ilusi bahwa kita hadir hanya pada konteks tertentu saja. Lukisan batik Prabu memperumit pengalaman ini dengan melacak sejarah dan hubungan yang kekinian antara Indonesia dan Australia, kemudian menyatukannya melalui banyak ragam visual, citra, dan teks yang disusun dalam komposisi dinamis yang melampaui batas tersebut.
Dalam karya First Trades of Friendship (2021) Prabu menghidupkan sejarah para nelayan Makassar (yang juga disebut ‘Makassan’) dari Sulawesi, Indonesia, ketika pertama kali tiba di Wilayah Kimberley di Wilayah Utara Australia (Northern Territory) pada pertengahan abad ke-18 untuk mengumpulkan dan mengolah teripang. Penggambaran awal perahu Makassar dapat ditelusuri kembali pada lukisan gua Aborigin awal 1700-an di Arnhem Land. Kemunculan bentuk perahu-perahu dalam karya Prabu tidak hanya mengacu pada kisah para nelayan Makassar, tetapi juga pada dokumentasi momen perdagangan yang tertuang dalam lukisan-lukisan gua tersebut. Prabu mengajak kita untuk memberikan perhatian pada makna dan kisah-kisah persahabatan ketika memikirkan tentang sejarah ini, untuk mengingatkan kembali tentang hubungan antara dua negara di masa lampau yang terus berjalan hingga sekarang.
Penggunaan teknik batik – pewarnaan tekstil memakai lilin dan pencelupan warna – juga merupakan penanda akan penghormatan Prabu terhadap tradisi batik tulis yang berasal dari Jawa, Indonesia. Prabu membawa medium dan proses yang berliku ini ke ranah yang lebih kekinian. Secara tradisional, batik tulis seringkali memperlihatkan motif-motif dan pola-pola alam setempat – seperti tumbuhan, burung, binatang, awan – serta disajikan dalam komposisi yang padat dengan menonjolkan warna coklat muda, biru, coklat tua, dan nada-nada kehitaman. Lukisan batik Prabu memainkan teknik ini sekaligus menyematkan bentuk penceritaan yang kontemporer dengan memunculkan bentuk-bentuk khas karyanya serta narasi dan warna yang berani. Penggunaan warna ombré dan nada kontras seperti yang terlihat dalam Timeless Actions for the Future (2021), Precious Lesson for the Great Nations (2021), dan Follow Your Path in a Hard Day (2021) memberi penekanan pada perpaduan kisah dan budaya yang mengalir dalam selembar kain tersebut. Eksperimen Prabu terhadap motif dan warna serta tradisi (yang muncul dalam bentuk batik tulis) merupakan praktik artistik yang menubuh daripada sekedar inspirasi.
Dalam konteks membangun hubungan Indonesia dan Australia, pembuatan batik dikenalkan kepada komunitas perempuan penduduk Aborigin pada tahun 1971 oleh Leo Brereton yang mempelajari batik di Indonesia. Brereton pertama kali diundang untuk mengajar teknik membatik di Ernabella, Anangu Pitjantjatjara Yankunytjatjara, Australia Selatan, yang kemudian menciptakan motif batik baru yang selaras dengan desain, cerita, dan lingkungan komunitas setempat. Walau demikian, tetap ada nilai-nilai penting yang tidak lekang oleh jaman, yang masih sama antara batik Indonesia, batik Indigenous Australia, dan batik Dias Prabu: yaitu sebagai media untuk bertutur dan berekspresi untuk memberikan penghormatan terhadap dunia dan ajaran leluhur. Di sini tradisi, pertukaran, dan sejarah membentuk hubungan yang melampaui ruang dan waktu. Menurut Prabu, ‘Adalah penting menghormati tradisi yang telah berabad-abad usianya. Karya yang berbasis tradisi, sejarah, legenda, bisa membawa kita pada narasi peradaban masa kini dan masa depan.’
Ada banyak cerita yang mengikat kita. Karya-karya baru Prabu ini menghadirkan rangkaian perjumpaan antara Indonesia dan Australia yang seringkali dilupakan atau ditinggalkan dari buku-buku sejarah. Kisah-kisah ini ditangkap oleh Prabu sebagai semacam membayangkan kembali ‘kenangan’ yang menyambung dan menghubungkan kita, perwujudan dari ikatan masa lalu kita sebagai medium untuk menempa sebuah masa depan kolektif.