Welcome to Kandangan, a modern craft village

Singgih Susilo Kartono

9 March 2017

We speak with Singgih Susilo Kartono, a graduate of Bandung Institute of Technology who has made a name for himself by embracing his village roots, rather than the bright lights of New York or Milan. His Magno radio has become an icon of sophisticated handmade production. It combines a classic “box” design with the aura of hand finished wood. Singgih embraces an “unperfectness” that increased user emotional involvement. Any wood used is then replanted with the help of students from the village school, young people and farmers. Currently, their income is enough to sustain 16 employees. The village also offers homestays featuring transport with the distinctive bamboo bike. Of course, we love the “g”.

What do you enjoy most about living in Kandangan?

Saya merasa sangat menikmati ketika saya memikirkan dan memperjuangkan tentang sesuatu hal dan saya ada di dalamnya serta menjadi bagian darinya, bukan melakukannya dari kejauhan. Sesuatu yang tidak mudah, karena sebagai individu saya juga harus bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga. Kehidupan yang saya jalani di desa sekaligus kemudian menjadi contoh nyata dari gerakan Revitalisasi Desa yang saya gagas dan perjuangan selama ini. Saya juga merasa bisa menjalani hidup tanpa merasa terbagi antara saat “mencari uang” dan saat “menikmati uang”, saya merasa bisa fokus pada kegiatan saya dan kemudian pendapatan dari sisi finansial menjadi akibatnya. Di luar hal yang kaitannya dengan “pekerjaan”, saya bisa menikmati kualitas hidup yang lebih baik, merasa syukur karena saya tidak harus mengorbankan waktu di kemacetan jalan, hidup dengan biaya yang lebih murah, terbebas dari hirup pikuk kota besar yang memang tidak saya sukai, memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga dsb. Namun saya kira saya merasa bahagia karena saya bisa tinggal dan survive ditempat dimana pengetahuan, wawasan dan keahlian saya sangat dibutuhkan oleh kelompok masyarakat yang selama ini terabaikan.

The most enjoyable time is the time to give thoughts and give effort to something I aware of by being the part of it. I realised that it is not easy, because I have to be responsible to my family and me. So I made my life here into a village revitalisation movement that I’d been thinking about for a long time. Here life, or work, does not split into “making money” and “spending money” anymore.  Living in a village is a blessed thing because of a better quality of life, without worrying about all the time wasted in traffic jams and feeling free from frenzied life of cities. I have more time to spend with family. I really enjoy living here, where my knowledge and skill can be applied and useful for people who had been “forgotten” for a long time, such as in many villages nowadays.

What’s surprised you so far about the journey back to your village of Kandangan?

Saya merasa terkejut, karena upaya kembali tinggal dan berkarya di tempat asal itu ternyata sangatlah tidak mudah. Saya sendiri bukan orang type planner, saya orang yang sangat intuitif, pulang  kampung tanpa perencanaan yang matang.  Surprise karena ternyata kemudian saya berhasil, -bahkan meraih prestasi yang justru tidak diraih mereka yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya- dengan aktivitas yang berbasis pada sumberdaya desa. Namun saya juga melihat semua ini sebagai sebuah bentuk keberuntungan, saya terkejut menjadi orang yang demikian beruntung, karena saya tahu saya memiliki sangat banyak kelemahan dan keterbatasan.

The decision to go back to my hometown (Kandangan) and start up some activities were not as easy as I thought. I am more an intuitive rather than well-planned person, therefore I decided to go back to my hometown even without planning it carefully. But, the most surprising thing is that I succeeded to develop activities that draw on village resources. This is something that people who live in big city like Jakarta cannot achieve. But I believe it’s one of luck, and I become the part of the luck, because I am aware of my own weakness and limits.

What’s been the biggest obstacle in realising your aim to revitalise crafts there?

Kegiatan crafts masyarakat Kandangan lebih pada aktivitas membuat sesuatu secara manual dan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau masyarakat lokal. Yang saya lakukan sebenarnya bukan merevitalisasi crafts, saya membangun aktivitas baru. Bahkan para perajin yang terlibat aktivitas produksi semuanya tidak memiliki ketrampilan kerajinan yang spesifik, mereka dilatih dari nol dengan metoda yang saya sebut  New Crafts, yaitu penerapan manajemen modern dalam sebuah aktivitas produksi berbasis kerja tangan (crafts).  Melatih skill terasa jauh lebih mudah daripada membangun mentalitas kerja yang sesungguhnya sangat dasar, yaitu  produktifitas, kedisiplinan, penghayatan akan kualitas yang juga kami inginkan hal tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mungkin memerlukan waktu lebih lama lagi, karena pada umumnya kemudian mereka memilih untuk hidup dalam 2 “dunia”, yaitu dunia kerja yang banyak aturan dan nilai-nilai dan kehidupan di luar aktivitas produksi yang mereka pahami sebagai dunia yang bebas. Kami menyadari hal tersebut hanya bisa diatasi dengan edukasi yang berkelanjutan, dan kami terus melakukannya sampai saat ini.

Crafts in Kandangan are more than just a matter of making something manually to fulfil their own, family’s, or local people’s needs. What I’ve done is not revitalise crafts, but create some new activities. Some of the “crafters” involved in our activities did not possess specific craft skills before, so they were trained by a method which I called “New Crafts”, which involves the application of modern management in crafts-based production. It’s easy to train new people about skill on craftworks, but to maintain them with basic working attitude like productivity, discipline, and awareness of qualities somehow still takes longer. Most of them decided to live in two different worlds—the strict working environment and outside work which they called the “free world”. But I think it would be better if there’s a continuous education in maintaining awareness and responsibilities inside and outside work, and now we are still in the progress of doing it.

Villages are by nature local. Is there any use for a global network of villages?

Saya melihat, peradaban bergerak maju dengan siklus yang berulang dan energi perubahan itu muncul dari kondisi ketidakseimbangan. Era materialism saat ini telah memunculkan ketidakseimbangan, terjadi kekosongan pada sisi spiritual manusia. Kehidupan industrial yang individualis dan materilalistis memunculkan kerinduan akan hidup yang guyup serta dekat dengan alam. Desa sesungguhnya merupakan tempat dimana kerinduan-kerinduan itu bisa dilabuhkan dan diwujudkan, dan meskipun kemajuan teknologi pada satu sisi merupakan sisi gelap, pada sisi lain merupakan cahaya terang mewujudkan kehidupan baru dimasa depan. Desa pada masal lalu adalah komunitas kecil yang tertutup dan terisolasi  karena keterbatasan teknologi, desa di masa depan adalah komunitas kecil yang terbuka dan terhubung secara global karena kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi. Dan dalam komunitas kecil tersebut kehidupan yang lestari dan mandiri bisa diwujudkan, karena desa adalah miniatur dunia, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bisa diperoleh dari lingkungan terdekatnya.  

In my opinion, our civilisation moves forward in a repetitive cycles, and the energy of change comes from imbalance. The materialist era has brought a disproportion to human life, so we are in spiritual loss. The individualistic and materialistic side of industrial life has somehow produced a desire for humbleness and life next to nature. The village should be a place to harbour their longing.

Technology advancement, in fact, has a negative impact, but if we look to the other side it also has many positive impacts. In terms of village, in the past they were “isolated” by other communities, but now a village can be connected by means of transportation, information, and technology advancements. The village then becomes more “open” and interconnected, even while remaining a sustainable community which is able to fulfil their needs from their own environment. I dream about the village as a small and sustainable community, because I believe that the village is the miniature of the world.

Author

Singgih Susilo Kartono, an industrial designer graduated from Institute of Technology Bandung (ITB), Indonesia, now runs his company, Piranti Works, which has achieved a worldwide recognition through his main product: Magno wooden radio. If you are interested in buying a bamboo bike send an email to info@spedagi.com. For more information, see www.spedagi.com.

Like the article? Make it a conversation by leaving a comment below.  If you believe in supporting a platform for culture-makers, consider becoming a subscriber.

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tags